Detiksatu.id | Banyuwangi – Rencana sejumlah kepala desa (kades) se-Banyuwangi yang hendak turun ke jalan untuk mendemo seorang anggota DPRD Banyuwangi karena pernyataan dugaan “80% korupsi” justru memicu gelombang kritik yang lebih keras dari publik. Salah satu kritik paling tajam datang dari Raden Teguh Firmansyah, Aktivis Filsafat Logika Berpikir, yang menilai bahwa aksi tersebut menunjukkan masalah yang jauh lebih serius daripada sekadar tersinggung oleh kritik.
“Saya heran, Pejabat kok kelakuannya seperti remaja yang tersinggung status Facebook. Kritik itu makanan sehari-hari pejabat publik. Kalau dikritik kok langsung panas, itu tanda bukan sedang membela kebenaran, tapi sedang melindungi kenyamanan,” tegas Raden Teguh Firmansyah.
Menurutnya, yang dilakukan para kades itu bukan sekadar protes, melainkan bentuk ketidakmatangan berlogika. Kritik salah satu anggota DPRD seharusnya dijawab dengan data, transparansi, dan pemeriksaan, bukan kerumunan amarah. Sabtu. 15 November 2025.
“Dalam Logika Berpikir, semakin keras seseorang menolak kritik, semakin besar kemungkinan kritik itu menyentuh luka. Orang yang bersih itu tenang, tidak sibuk menjerit. Yang sibuk ribut biasanya memang sedang menjaga sesuatu di belakang tirai,” lanjutnya.
Raden Teguh menyebut bahwa rencana demo tersebut justru memperkuat kecurigaan publik. Alih-alih membantah dengan bukti, mereka memilih jalan yang menghabiskan energi untuk mempertontonkan kemarahan.
“Demo karena dikritik itu menunjukkan mentalitas kekuasaan yang rapuh. Saya ulangi: rapuh. Pejabat yang kuat tidak anti kritik. Pejabat yang kuat justru mengundang pemeriksaan. Kalau sampai demo, itu artinya kritik itu tepat sasaran,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan bahwa jabatan kepala desa adalah jabatan yang melekat pada kewajiban untuk diawasi, bukan dilindungi dari sorotan.
“Jabatan itu bukan mahkota. Itu amanah. Kalau kritik saja dianggap penghinaan, berarti mereka belum siap menjadi pemimpin. Rakyat itu tidak butuh kades yang suka pamer kekuasaan, tapi butuh kades yang berani diaudit tanpa drama,” katanya.
Dalam penjelasannya, Raden Teguh menambahkan bahwa respons para kades telah menyalakan alarm logika publik. Alih-alih meredam isu, mereka justru membuat masalah menjadi lebih nyata.
“Semakin keras mereka berteriak menolak kritik, semakin jelas bagi kita bahwa kritik itu bukan asap tanpa api. Reaksi mereka itu bukan bantahan, tapi pengakuan yang tak disengaja,” pungkasnya.
Raden Teguh menutup pernyataannya dengan ajakan agar publik terus mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa secara ketat. Menurutnya, pemerintahan yang sehat lahir dari transparansi dan kesediaan untuk dikritik, bukan dari kemarahan dan ketakutan terhadap pengawasan.


















