Jakarta, 8 November 2025- Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Fast Respon Nusantara (PW.FRN), Agus Flores, mengeluarkan pernyataan keras menanggapi terbongkarnya praktik tambang ilegal di Kalimantan Timur yang telah berlangsung hampir sepuluh tahun (2016–2025). Ia menyebut kegiatan ilegal itu sebagai bentuk perampokan terhadap negara di atas tanah sendiri.
“Sudah sepuluh tahun mereka merusak bumi Kalimantan. Cukup! Semua tambang ilegal harus dimusnahkan-tidak ada negosiasi dengan perusak negeri!” tegas Agus Flores di Jakarta, Jumat (8/11).
PW.FRN menilai bahwa praktik tambang ilegal di kawasan Bukit Suwarto, bahkan hingga wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN), telah melampaui batas toleransi. Temuan terbaru hasil operasi Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri bersama otoritas IKN membuktikan adanya modus baru:
penambangan di kawasan konservasi dikemas seolah-olah berasal dari tambang berizin resmi.
Hasil penyidikan mengungkap fakta mencengangkan:
300 hektare lahan hutan digunduli di kawasan Tahura Bukit Suwarto.
Rp1,1 triliun diperlukan untuk memulihkan kerusakan lingkungan.
Uang haram Rp80-100 miliar berputar dari hasil penjualan batu bara ilegal.
5 tersangka telah ditetapkan-dua di antaranya telah masuk persidangan.
Barang bukti menunjukkan praktik sistematis penyamaran izin (IUP) untuk menutupi kejahatan tambang.
Agus Flores mendesak aparat penegak hukum agar tidak hanya menghukum operator lapangan, tetapi mengejar dalang utama: pemberi izin fiktif, pengusaha tambang gelap, dan oknum yang melindungi aktivitas haram tersebut.
“Kalau negara serius, jangan hanya tangkap pekerja di lapangan. Tangkap juga para cukong, oknum pejabat, dan penikmat hasil tambang ilegal. Hukum tidak boleh pilih kasih!” ujarnya.
PW.FRN menilai lemahnya pengawasan dan adanya potensi keterlibatan oknum berkuasa menjadi alasan mengapa tambang ilegal bisa bertahan satu dekade penuh.
Kondisi lapangan di kawasan Tahura Bukit Suwarto kini memprihatinkan.
Bekas galian tambang menganga lebar, hutan gundul, tanah tandus, dan sumber air mengering. Kawasan yang seharusnya menjadi paru-paru IKN itu kini berubah menjadi kubangan raksasa hasil keserakahan.
“Kalau kita tidak punya komitmen bersama untuk melawan tambang ilegal, maka Kalimantan hanya tinggal cerita,” ujar pejabat Dittipidter yang turun langsung ke lokasi.
PW.FRN mengajak masyarakat dan insan media untuk tidak tinggal diam.
Media massa harus menjadi senjata moral melawan mafia tambang-membuka fakta, menekan aparat, dan membela hak publik atas lingkungan yang sehat.
“Kami wartawan Fast Respon tidak akan diam. Kami berdiri di garis depan bersama rakyat. Ini perang moral: antara mereka yang mencintai negeri dan mereka yang menjualnya,” tutup Agus Flores.
(Redaksi)


















