Detiksatu.id // Opini – Banyuwangi, Minggu 13 Juli 2025.
Oleh: Bang Yahya
Ketua DPC GRIB Jaya Banyuwangi
Taman Blambangan di jantung kota Banyuwangi bukan sekadar ruang terbuka hijau; ia telah menjelma menjadi panggung tumbuhnya ekonomi rakyat, ruang ekspresi budaya, dan simbol pemberdayaan ekonomi mikro. Di titik inilah ratusan pelaku UMKM yang tergabung dalam komunitas Banyuwangi Creative Market (BCM) menemukan nafas dan ruang hidup lewat kehadiran rutin Car Free Day (CFD).
Namun, dalam beberapa pekan terakhir, awan gelap menggantung di langit harapan para pelaku usaha kecil ini. Pemerintah Daerah Banyuwangi — dengan dalih “penataan kota” — dikabarkan akan melakukan relokasi atau bahkan menghapus keberadaan BCM dari titik strategis CFD di kawasan Taman Blambangan. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan kritis: Apakah benar kota harus ditata dengan mengorbankan isi perut rakyat kecil? Atau justru kota itu akan tertata ketika perut rakyatnya kenyang?
Secara teori, perekonomian daerah yang sehat adalah yang mampu mengintegrasikan pertumbuhan makro (infrastruktur dan tata ruang) dengan pemberdayaan mikro (UMKM dan ekonomi rakyat). Dalam hal ini, keberadaan BCM di CFD bukan sekadar fenomena sosial, tetapi ekosistem ekonomi mikro yang teruji kemandiriannya tanpa SUBSIDI dari Pemerintah.
Setiap Minggu pagi, ratusan pelaku usaha — mulai dari penjual makanan tradisional, perajin lokal, hingga pengusaha kreatif pemula — mencatat omzet mulai dari ratusan ribu hingga ratusan jutaan rupiah. Dalam konteks multiplier effect, omzet tersebut bukan hanya menyentuh dompet pelaku UMKM, tetapi juga menopang sektor lain: pemasok bahan baku, pengemudi ojek online, juru parkir hingga seniman lokal yang mengisi panggung hiburan.
Keberhasilan BCM bukan hadir secara instan, melainkan buah pembinaan jangka panjang, gotong-royong komunitas, serta adaptasi pelaku UMKM terhadap selera pasar wisatawan dan warga lokal.
Maka ketika pemerintah datang dengan kebijakan “penataan kota”, publik menuntut satu hal: dimana hati nurani pemegang kebijakan ?
Setiap kebijakan relokasi atau penggusuran atas nama penataan harus disertai kajian kelayakan bisnis (feasibility study) yang melibatkan Potensi kerugian ekonomi pelaku UMKM, Pengaruh terhadap ekosistem bisnis sekitarnya, Aspek sosial-kultural (karena banyak pelaku UMKM adalah ibu rumah tangga atau pemuda yang tidak punya akses ke modal besar) dan Mitigasi dampak terhadap pengangguran dan kemiskinan kota
Tanpa dokumen ini, relokasi BCM ke lokasi yang tak strategis hanya akan menciptakan pasar sepi dan trauma sosial. Contohnya bisa dilihat dari Pasar Wisata Sobo — proyek ambisius yang dibangun dengan konsep megah, namun gagal menjadi pusat transaksi karena abai pada pola konsumsi dan perilaku ekonomi masyarakat. Kini pasar itu ibarat kota hantu: indah dalam perencanaan, mati dalam kenyataan.
Penataan kota memang penting. Tidak ada yang menolak keindahan dan keteraturan ruang publik. Tapi menata kota bukan berarti menyingkirkan denyut ekonomi rakyat kecil dari ruangnya sendiri. Kota bukan museum yang steril dari aktivitas sosial, melainkan ruang hidup yang tumbuh dan berkembang bersama warganya.
BCM bukanlah hambatan pembangunan. Ia adalah contoh nyata bagaimana ruang publik dimanfaatkan untuk membangun ekonomi yang inklusif dan partisipatif. Bukankah selama bertahun-tahun justru pemerintah daerah sendiri yang menggadang semangat “UMKM Naik Kelas”, “Banyuwangi Festival”, “City Branding”, dan “Creative Economy”?
Ironis jika kini ketika UMKM telah tumbuh bersama ruang publik, mereka justru dianggap sebagai nyamuk pengganggu.
Yang dibutuhkan bukan keputusan sepihak, melainkan dialog terbuka antara Pemda dan komunitas BCM, disertai publikasi terbuka atas hasil studi kelayakan (jika ada). Jika penataan memang harus dilakukan, maka Harus ada masa transisi yang adil, bukan kebijakan mendadak dan Perlu keterlibatan akademisi, pengamat ekonomi, dan praktisi UMKM sebagai tim evaluasi dampak kebijakan.
Ketika pemerintah sibuk menata trotoar dan taman, rakyat kecil sebenarnya hanya ingin sedikit ruang untuk bertahan hidup dengan cara bermartabat. Menata kota tidak boleh dibayar dengan hilangnya ruang rejeki rakyat. Kota yang baik bukan hanya yang cantik dilihat, tapi yang ramah terhadap pengusaha kecil, adil terhadap komunitas lokal, dan peka terhadap denyut ekonomi rakyatnya sendiri.
Penataan kota adalah proyek jangka panjang. Tapi menata perut rakyat adalah kebutuhan harian yang tak bisa ditunda. Jangan sampai kita mengulang kesalahan: membangun ruang fisik yang mewah tapi mematikan semangat wirausaha rakyat yang telah dibina bertahun-tahun.
Karena pada akhirnya, perencanaan kota bukan hanya tentang gedung dan taman — tapi tentang manusia yang mengisinya dengan hari nurani saat mengambil kebijakan.